66 research outputs found

    Kamasutra1 Journalism; Degradation of News Quality in Online Media in Indonesia

    Get PDF
    Online media in Indonesia is called secondary journalism as it gives priority on speed and tends to ignore other journalism principles such as accuracy and completeness. ā€˜Kamasutra journalismā€™ is another label for this platform since it provides space for discussing sexuality vulgarly, particularly during the boom of the ā€˜Ariel and Luna Maya2 porn video caseā€™. This study applies the theory of determination technology (Marshall Mc Luhan; 1962) to explain how technology has influenced the newsroom. Exploration on media routines (Pamela J. Shoemaker; 1991) is done to get in-depth description of how the production of online news is occurred and how the quality of reporting is affected by the use of the internet. The results of this study indicate that internet technology has contributed to the degradation of news quality. It happens when the media industry forces the editor to defeat old platforms by maximizing internet superiority such us quickness, interactivity, etc

    When Anonymous Controlling Professional Media: A Marginal Voice in Press Freedom Country

    Get PDF
    The emergence of citizen journalism get a skeptical response from professional journalists based on several reasons such as un-institutional, subjective and nonprofessional (OĀØrnebring, 2013; Allan, 2009; Moyo, 2009). This study explores how mainstream media play dominant role in producing fact by excluding citizen journalist apart from their system. The object of the study is ā€˜Discourseā€™ about the banned of a controversial article1 written by an anonymous2 citizen journalist named Jilbab Hitam (here in after referred to as the ā€˜JHā€™)3 in kompasiana.com4. The issues widespread quickly in cyberspace produce pros cons among internet user including professional journalists, NGO, etc. This research employs Critical Discourse Analysis (CDA) on articles and twitter conversations relevant to the issue. The results of the study show how anonymity becomes dominant Discourse submerging other important issue such us media manipulation and media corruption. Negative representation of anonymity ā€“ hoax, liar, provocative ā€“ might tend to hamper struggling of internet user freedom of expression

    Soal Teknis Penulisan Berita Penyiaran

    Get PDF
    Ujian Akhir 201

    Kontrak Perkuliahan Jurnalistik Online

    Get PDF

    The Disabled People Virtual Communities in Social Media from The Perspective of Public Sphere Theory

    Get PDF
    Many researches view the internet as aĀ  virtual public sphere or forum potential that provides a space for minority groups to voice their opinions.Ā  This article identifies the role of social media in creating political public sphere for voters with disabilities in Indonesia during Presidential Election in 2019. By applying the normative values provided by Public Sphere Theory and Sphere Public Subaltern Theory, this article determines various potentials as well as stumbling blocks of the internet as a virtual public sphere for internet users.Ā  Virtual ethnography method is used to determine the identity of virtual communities of disabled people on three most active social media platforms in Indonesia, namely Instagram, Facebook and Twitter. Virtual Ethnography enables researchers to conduct an online observation on virtual communities three months prior toĀ  the 2019 Presidential Election. The data findings help the researchers draw conclusionĀ  that social media has technically advocated the endeavor of the disabled peopleā€™s political rights equality, proven by the existence of disabled peopleā€™s virtual communities and the narratives of struggle for their political rights equality. However, the data has shown an inadequacy of disabled peopleā€™s virtual community to create dynamic inter-activities between its membersĀ  as this community has not been able to reflect a public sphere that is able to build public opinionĀ  whichĀ  effectively influences public policy

    Challenge in Communicating Scholarship Information. A Case Study in Developing Country, Suriname

    Get PDF
    Communication is not just about the process of transmitting information, but also requires a well-crafted strategy. Communication strategies are built on a foundation of clear objectives, thoughtful planning, and an understanding of how different communication channels can be used to achieve specific goals. Not having any communication strategy could lead to many issues. This research is done in Suriname because of its education challenges, specifically in communicating scholarship information to the public. A qualitative case study is conducted using in-depth interviews, qualitative data analysis approach and 11 purposive informants to investigate how scholarship information is communicated at the Bureau Education Information and Study Facilities (BOS) in Suriname. This study applied the theory of the Montreal School Approach to Communicative Constitution of Organizations that will explain how organizations are formed and represented through ongoing interactions based on five phases of translations. The study found that BOS is responsible for disseminating information about international scholarships and is reliable in the process but lacks extensive communication policies. However, students in Suriname face challenges due to poor communication of scholarship information. Based on the findings, this study includes suggestions such as the need for creating engaging content to communicate scholarship information and utilizing other communication channels to reach a wider audienc

    Interpretasi Khalayak terhadap Berita Konflik Papua di Televisi

    Full text link
    Sumary PenelitanInterpretasi Khalayak terhadap Berita Konflik Papuadi Televisi1. PendahuluanBeberapa waktu terjadi pemogokan hampir dua bulan lamanya, berbagaikerusuhan di Puncak Mulia , jalur Freeport-di blokir,penembakan di Abepura,kekerasan dalam Kongres Rakyat Papua ke 3 , penembakan terhadap Kapolsek Mulia,serta sekarang terjadi lagi kasus serupa di Bandara Mulia.Sekelompok orang tidakdikenal menembaki pesawat Trigana yang menewaskan penumpangnya, serta melukailainnya. Penganiayaan orang tak dikenal terhadap aparat juga terjadi lagi di Sentaniyang menewaskan salah satu anggota kepolisian Polres Keerom. Anehnya lagiberbagai penembakan tersebut sampai sekarang belum bisa diungkapkan siapapelakunya yang berada di Balik penembakan tersebut.Fakta merupakan dinamika yang lahir melalui interaksi antar manusia. Seringjurnalis merasa hanya berkepentingan untuk menangkap interaksi ini tanpa perlumempersoalkan kualitas dari interaksi tersebut. Karenanya pada sisi lain kemudianmuncul dorongan untuk mengajak jumalis menumbuhkan penghayatan atas posisiperson yang diceritakan.Realitas konflik menjadi sangat dilematis bagi media. Hukum pasar yangbertumpu pada diktum never ending circuit of capital accumulation mendorong mediauntuk menyajikan informasi semenarik dan sedramatis mungkin. Meskipun jarangsekali diakui, bahkan selalu disangkal, ramuannya cukup jelas: bad news is goodnews. Ramuan inilah yang menyebabkan realitas konflik (perang, pertikaian politik,kerusuhan, tawuran, demonstrasi yang anarkhis, dst) selalu menjadi primadonapemberitaan. ā€œKonflik adalah oase yang tak pernah kering bagi kerja-kerjajurnalistik,ā€ begitu kata George Wangtang. Konflik selalu menyajikan sensasi dandaya magnetik yang besar bagi publik. Liputan konflik dapat secara signifikanmenaikkan oplah, rating, hit,everage sebuah media.Pemberitaan konflik yang terjadi dipapua yang terakhir kali yaitu mengenaipembunuhan aparat keamanan yang berdinas di Polresta oleh sekelompok orang takdikenal dan penembakan kapolsek Muliya di bandara serta penembakan pesawatkomersil di daerah wamena.pembeitaan tersebut menimbulkan berbagai persepsi dibenak khalayak. Pemberitaan mengenai konflik Papua oleh media massa dapatmenimbulkan berbagai prasangka dalam benak khalayak yang diterpa ataupunmenyaksikan pemberitaan tersebut.Prasangka sosial (Manstead dan Hewstone, 1996) didefinisikan sebagai suatukeadaan yang berkaitan dengan sikap-sikap dan keyakinan-keyakinan. Yaitu, ekspresiperasaan negatif, penunjukkan sikap bermusuhan atau perilaku diskriminatif terhadapanggota kelompok lain. Beberapa kasus tertentu yang berhubungan dengan rasismejuga dianggap sebagai prasangka. Prasangka sosial yang pada mulanya hanyamerupakan sikap-sikap perasaan negatif itu, lambat-laun menyatakan dirinya dalamtindakan-tindakan yang diskriminatif terhadap orang-orang yang termasuk golonganyang diprasangkai itu, tanpa terdapat alasan-alasan yang objektif pada pribadi orangyang dikenakan tindakan-tindakan diskriminatif.Pengalaman kebudayaan Amerika, yang dianggap sebagai kampiundemokrasi, juga tidak terlepas dari prasangka dan stereotipe sosial. Publikasipenelitian yang diterbitkan oleh American Psychological Association (Dovidio et. al,2002) menjelaskan bahwa di abad global-modern ini saja masih terdapat bias persepsipada diri orang kulit putih dalam perilaku verbal terhadap orang Negro. Orang-orangkulit putih ternyata lebih ramah dan bersahabat terhadap kalangan mereka sendiri.Hochschild (Dovidio et. al, 2002) menjelaskan bahwa perilaku orang-orang kulit putihyang kadang-kadang berbeda dan kontradiktoris terhadap orang kulit hitam dalaminteraksi antar-ras dapat memberikan kontribusi iklim yang miskomunikatif,mispersepsi, dan ketidakpercayaan di Amerika Serikat. Bahkan menurut Anderson(Dovidio et al, 2002) mayoritas orang kulit hitam di Amerika dewasa ini memilikiketidakpercayaan yang sangat besar terhadap polisi dan sistem hukum, terutamaketidakpercayaan terhadap orang-orang kulit putih.Kekerasan yang dibahas dalam pemberitaan konflik seputar Papua tidak lagisemata-mata untuk memberikan informasi kepada masyarakat mengenai konflik yangterjadi di tanah Papua. Namun, kekerasan tersebut sudah masuk ke bisnis industrimedia yang mengikuti selera pasar yang tertarik pada berita-berita dengan unsurkekerasan didalamnya. Melihat fenomena di atas, penulis tertarik untuk menelitibagaimana interpretasi khalayak terhadap masyarakat Papua setelah menyaksikanpemberitaan mengenai konflik yang terjadi di Papua.2. Tujuan PenelitianTujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana interpretasi khalayakmengenai pemberitaan konflik Papua yang disajikan oleh televisi.3. Landasan TeoriDalam analisis resepsi disebutkan bahwa khalayak akan menginterpretasikanteks berita sesuai dengan latar belakang sosial, budaya, dan pengalaman subjektifyang dimiliki masing-masing khalayak. Perbedaan latar belakang membuatinterpretasi terhadap isi berita menjadi berbeda-beda. Berita di media massa,diinterpretasi oleh khalayak dengan dipengaruhi tiga kondisi antara lain :a) BudayaInformasi yang disampaikan komunikator melalui media massa akan diberi arti yangberbeda-beda yang sesuai dengan latar belakang budaya khalyak.b) PsikologiPesan komunikasi massa yang disampaikan media massa akan diberi arti sesuaiframe of reference (ruang lingkup pandangan) dan field of experience (ruang lingkuppengalaman) khalayak.c) FisikKondisi fisik khalayak baik internal maupun eksternal akan mempengaruhikhalayak dalam mempersepsi esan komunikasi massa melalui media massa. Kondisifisik internal dimaksudkan sebagai keadaan kesehatan seseorang. Jika komunikandalam keadaan tidak sehat, ia akan mengabaikan pesan apapun walaupun pesantertentu biasanya sangat menarik minatnya. Kondisi fisik eksternal dimaksudkankeadaan lingkungan disekitar khalayak ketika ia menerima pesan dari media massa.Misalnya khalayak merasa tidak nyaman ketika membaca surat kabar didalamkendaraan umum ketika berjalan. Atau khalayak merasa nyaman ketika menontontelevisi pada sorehari sambil meminum teh hangat (Winarni, 2003:18).Selain faktor latar belakang budaya, sosial, pendidikan, pengetahuan,yangdapat mempengaruhi interpretasi khalayak pada berita-berita dimedia massa,interpretative communities juga memberi pengaruh terhadap interpretasi khalayak.Stanley Fish (dalam Littlejhon, 1999 : 209) menyatakan bahwa pembaca bagian dariinterpretative communities, akan membangun pemaknaannya terhadap realita darihasil interaksi kelompoknya dan akan digunakannya saat membaca teks berita dimedia. Jadi bagaimana khalayak memaknai teks media, akan tergantung juga olehinterpretative communities dari pembaca itu sendiri.Untuk itu, Stuart Hall (dalam Baran dan Dennis K. Davis, 2000:262),membagi tiga tipe utama pemaknaan atau pembacaan khalayak terhadap teks media(dominant reading, negotiated meaning, oppositional decoding) :ā€¢ Dominant readingKetika khalayak memaknai isi media sesuai dengan yang dimaksud oleh pembuatpesan atau media. Jika seseorang melakukan pemaknaan sesuai dengan maknadominan (preferred reading) yang ditawarkan oleh teks media.ā€¢ Negotiated meaningKetika khalayak membuat pemaknaan alternatif atau pemakanaan sendiri pada pesanmedia yang berbeda dari preferred reading sesuai dengan kondisi mereka.ā€¢ Oppositional decodingKetika khalayak menghasilkan pemaknaan atas isi media yang langsung berlawanandengan preferred reading.4. Metoda PenelitianTipe penelitian ini adalah kualitatif. Penelitan kualitatif adalah penelitian yangbermaksud untuk memahami fenomena yang dialami subjek penelitian misalnyaperilaku, persepsi, motifasi, tindakan, dll secara holistik, dan dengan cara deskripsidalam bentuk kata-kata dan bahasa, pada suatu konteks khusus yang alamiah dandengan memanfaatkan berbagai metode ilmiah (Moleong, 2007:6).Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini yaitu analisis resepsi.Analisis resepsi meneliti bagaimana khalayak mengkonstruksi makna keluar dari yangditawarkan oleh media.5. Hasil PenelitianAdapun hasil penelitian tersebut merupakan hasil dari wawancara mendalamdengan enam informan. Informan yang dipilih berdasarkan perbedaan jenis kelamin,latar belakang sosial-budaya dan tingkat pendidikan yang beragam. Pertanyaan yangdiajukan kepada informan mengacu pada interview guide yang telah dibuat., yaituseputar resepsi terhadap berita-berita konflik Papua di televisi. Tiap-tiap informanmemiliki interpretasi yang berbeda-beda terhadap pemberitaan konflik Papua ditelevisi, karena masing-masing informan memiliki latar belakang budaya, sosial,maupun pendidikan yang berbeda-beda.Konflik Papua dengan segala peristiwa yang terjadi didalamnya, diinterpretasioleh informan dengan sudut pandang dan pendekatan yang bervariasi. Terdapatkesamaan dan perbedaan dalam menjawab pertanyaan yang diajukan kepadainforman. Interpretasi informan terhadap konflik Papua pada pemberitaan ditelevisi,melihat konflik Papua sangat dekat dengan kekerasan, pembunuhan dan hal-hal lainyang berhubungan dengan kekerasan. Selain itu konflik Papua juga dalampemberitaannya selalu dikaitkan dengan unsur kekerasan dan anarkisme. Hal inimenyebabkan penggambaran terhadap masyarakat Papua oleh informan menjadikurang baik dalam kehidupannya. Perangai yang keras, tidak bisa diatur dan sadismerupakan salah satu dari sekian citra negatif dalam pemberitan media mengenaimasyarakat Papua.6. PembahasanDari fokus permasalahan yang telah diteliti peneliti, yaitu menelusuripemaknaan yang diberikan audience televisi terhadap pemberitaan konflik Papua,ternyata peneliti menemukan resepsi yang dilakukan para informan terhadappemberitaan konflik Papua sangat beragam.Informan pertama bernama Gentur, masuk dalam posisi negotiated reading,gentur membuat pemaknaan alternatif atau pemaknaan sendiri pada berita konflikPapua. Meskipun Gentur melihat konflik Papua terjadi antara pemerintah dengansebagian warga Papua, Gentur juga memberikan penilaian bahwa konflik Papuaterjadi karena faktor kesenjangan ekonomi antara pendatang dan pribumi. Selain itugentur melihat konflik yang terjadi menyebabkan timbulnya banyak korban, akantetapi gentur menilai sebagian besar pihak yang berkonflik sudah memulai dialogdamai antar pihak pemerintah dengan pemuka adat. Gentur berada ditengah-tengahyang melihat konflik dari sisi negatif namun tetap memberikan penilaian positifberupa dialog damai dalam rekonsiliasi konflik Papua. Gentur yang memiliki latarbelakang sebagai polisi, tidak mudah terpengaruh dengan pemberitaan diberbagaimedia termasuk televisi. Gentur memiliki pendapatnya sendiri dalam memandangkonflik Papua. pengalaman, pengetahuan, dan latar belakang sosialnya tersebutmembuat Gentur memnculkan maknanya sendiri saat menginterpretasi berita konflikPapua yang diterimanya.Informan kedua adalah Zamzuri, menempati posisi dominant reading,Zamzuri memaknai berita konflik Papua yang dilihatnya, sesuai dengan maknadominan (prefered reading) yang ditawarkan oleh pemberitaan di televisi. Zamzurimelihat konflik Papua sebagai konflik bersenjata antara aparat dengan OrganisasiPapua Merdeka. Zamzuri melihat konflik selalu diliputi oleh berbagai kekerasanseperti penembakan dan pembunuhan. Unsur kekerasan yang ditonjolkan oleh televisidan melekat dengan dengan masyarakat Papua dalam pemberitaan konflik Papua,dimaknai sama oleh Zamzuri. Interpretasi yang dilakukan oleh zamzuri dipengaruhioleh latar belakang budaya dan sosialnya. Zamzuri yang tinggal dilingkungan barakbatalyon TNI selalu menganggap setiap permasalahn konflik berujung padakekerasan. Latar belakang dan kerangka pemikiran ini ikut mempengaruhipemikirannya dalam memandang konflik Papua. Konflik antara pemerintah denganmasyarakatnya sendiri menurut Zamzuri justru membuat stabilitas negara menjaditerganggu dan dengan itu harus diselesaikan dengan cepat.Informan ketiga bernama Sahrian, ia masuk dalam dominant reading. Sahrianmelihat konflik Papua sebagai upaya kurang perhatiannya pemerintah terhadapwarganya sendiri tanpa adanya penyelesian masalah dari pemerintah dan solusi.Sahrian menganggap kekerasaan yang terjadi di Papua lebih banyak menimbukankorban jiwa. Selain itu Sahrian menganggap kinerja aparat tidak maksimal dan tdakdapat menangkap pelaku kekerasan seperti yang diberitaka oleh media televisi dalampemberitaannya. Interpretasi Sahrian dipengaruhi oleh latar belakang budayasosialnya. Sahrian tinggal dikeluarga yang hangat dan tidak menyenangi konflikterbuka. Jika ada suatu masalah, Sahrian terbiasa untuk menyelesaikan baik-baiktanpa perlu bersitegang secara langsung. Latar belakang itu mempengaruhipemikirannya dalam menyikapi konflik yang terjadi di Papua.Informan keempat bernama Niko, ia termasuk dalam posisi oppositionalreading. Niko menilai konflik yang terjadi di Papua hanya protes warga terhadappemerintah hanya saja caranya yang berbeda dan tidak ditanggapi dengan baik olehpemerintah. Niko juga menilai bahwa orang Papua itu kehidupannya sama sajadengan kehidupan masyarakat pada umumnya. Niko memaknai berita konflik Papuayang diterimanya, berbeda dengan makna dominan yang dihasilkan pengelolapemberitaan ditelevisi. Niko sangat mudah bergaul dengan siapapun salah satunyadengan beberapa orang Papua yang ada di Semarang. Kebiasaan inilah yang membuatNiko tidak mudah terpengaruh denagn pemberitaan yang disajikan media televisidalam mengangkat peristiwa yang terjadi diPapua. Pengalaman bergaul dengan orangPapua inilah yang lebih dipercayai Niko daripada pemberitaan yang ada.Informan kelima adalah Meida, ia masuk dalam posisi negotiated reading.Menurut Meida kehidupan masyarakat Papua masih terbelakang namun mereka tidakbuta akan informasi. Konflik di Papua menurut Meida tidak pernah lepas dari aksikekerasan. Meida menilai konflik yang terjadi dipapua karena sebagian masyarakatPapua ingin memisahkan diri dari NKRI. Meida juga menambahkan selainmasyarakat Papua ingin memerdekakan diri, masyarakat Papua juga ingindiperhatikan seperti masyarakat Indonesia pada umumnya. Banyaknya koruptor yangmerajalela menjadi salah satu alasan terjadinya konflik di Papua. Meida membuatpemaknaan sendiri pada berita konflik Papua yang disaksikannya. Interpretasi Meidadipengaruhi oleh latar belakang Meida sebagai seoang guru yang dituntut untukmemiliki wawasan dan pengetahuan meskipun dari media massa.Informan keenam adalah Nia, ia masuk kedalam posisi dominant reading,karena Nia menginterpretasikan berita konflik Papua yang disaksikan sesuai denganmakna dominan yang dihadirkan media televisi. Ia memaknai konflik yang terjadi diPapua selalu diliputi oleh kekerasan. Hal yang sering muncul dalam pemberitaankonflik Papua seperti pembunuhan, penembakan dan penyerangan yang ditujukanoleh aparat dan warga sipil oleh orang tak dikenal. Ia memandang negatif citramasyarakat Papua dan kehidupan masyarakat Papua sangat terbelakang dantemperamental. Secara keseluruhan Nia menilai konflik di Papua lekat dengananarkisme dan kekerasan. Interpretasi Nia tersebut dipengaruhi oleh kondisi sosialdan latar belakang budaya. Nia yang sangat kental dengan kebudayan Jawa ningratsangat tidak suka dengan hal-hal yang berbau kekerasan dan konflik.7. PenutupInterpretasi khalayak merupakan wujud interaksi antara khalayak denganmedia. Khalayak akan memaknai kembali informasi yang diterima melalua mediamassa sesuai dengan latar belakang sosial, budaya, pengetahuan, dan pendidikan yangmereka miliki. Begitupun dengan berita konflik Papua yang ditayangkan mediatelevisi, khalayak akan menginterpretasikannya sesuai dengan latar belakangnya yangberbeda.ABSTRAKSINama : Bayu ArdyantaraNIM : D2C606009Judul : Interpretasi Khalayak terhadap Pemberitaan Konflik Papua di TelevisiPascareformasi, Papua sering dilanda konflik. Konflik Papua rupanya memilki dayatarik tersendiri bagi media massa untuk mengengkatnya menjadi berita. Televisi, merupakansalah satu media yang memberitakan konflik Papua sebagai pemberitaannya. Akan tetapi,Televisi mengidentikan konflik Papua yang terjadi dengan kekerasan pada berita yangdihasilkan. Kata-kata penembakan, pembunuhan, dan kekerasan selalu ada dalam beritakonflik Papua di televisi.Penelitian ini bertujuan untuk mengungkapkan bagaimana interpretasi khalayakterhadap berita- berita konflik Papua di Televisi. Tipe penelitian ini adalah kualitatif denganmenggunakan pendekatan analisis resepsi. Dalam analisis resepsi, khalayak dipandangsebagai produser makna, tidak hanya menjadi konsumen isi media. Khalayak akan menerimaberita konflik Papua yang diterimanya sesuai dengan latar belakang sosial, budaya, danpengetahuan mereka. Penelitian ini juga menggunakan model encoding-decoding Stuart Hall,untuk menjeelaskan jalannya proses encoding dan decoding berita-berita konflik Papua.Hasil penelitian menunjukan bahwa khalayak aktif dalam menginterpretasi beritakonflik Papua yang diterimannya. Interpretasi khalayak terbagi dalam tiga posisi pemaknaan;dominant reading, negotiated reading, dan oppositional reading. Khalayak yang masuk posisidominant reading, memaknai konflik Papua identik dengan kekerasan didalamnya. Khalayaktersebut memaknai berita konflik Papua sesuai dengan makna dominan yang dihadirkanmedia televisi. Sementara khalayak dengan posisi negotiated reading, memaknai konflikPapua dengan pemaknaannya sendiri. Khalayak ini tidak memandang konflik Papua dari segikekerasannya saja tetapi dia lebih menonjolkan positif daripada konflik tersebut. Sedangkankhalayak yang masuk dalam posisi oppositional reading memaknai konflik Papua sama sekaliberbeda dengan makna dominan dari pemberitaan televisi.Penelitian ini sangat terbuka untuk dikaji dari sudut pandang dan metode yangberbeda. Penelitian serupa dengan memaknai pendekatan yang berbeda, diharapkan dapatdapat menambah dan menyempurnakan penelitian yang sudah ada
    • ā€¦
    corecore